Keterangan foto: NP.Rahadian,
Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi menunjukkan
skema mekanisme imbal jasa lingkungan di DAS Cidanau (23/4/14) |
Hal ini dialami NP.Rahadian, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bhumi. Rahadian memulai rintisan upaya ini sejak tahun 1998, persis setelah era reformasi Indonesia. Rintisan ini dilakukan jauh sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.
“Awalnya bermula dari keprihatinan tentang Cidanau yang sangat potensial menjadi sumber air bersih dan potensinya sebagai kawasan lindung” Kata Rahadian, yang akrab dipanggi Kang Nana, ketika ditemui di kediamannya di Kota Serang (23/4/14).
Menyadari kalau pengelolaan tidak mungkin dilakukan oleh satu dua pihak saja, Rekonvasi Bhumi menggagas pertemuan awal untuk membahas tentang pelestarian Cagar Alam Rawa Danau pada Desember 1998. Momentum itu tidak serta merta berhasil. Karena meskipun ada kesepakatan awal antara berbagai pihak, namun pelaksanaan ke tahap berikutnya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Keterangan foto: Cagar
Alam Rawa Danau dengan luas 3.500 hektar berada pada tiga wilayah kecamatan di
Kabupaten Serang, yaitu Kecamatan Padarincang, Kecamatan Mancak dan Kecamatan
Gunung Sari
|
Fase Pengembangan
Rahadian mencatat tahapan yang cukup menggembirakan untuk upaya pelestarian Cagar Alam Rawa Danau mulai terbuka pada tahun 2001, dengan bantuan beberapa orang di institusi pemerintahan yang memiliki visi yang sama. Ketika itu Lokakarya DAS Cidanau pada bulan Agustus Tahun 2001 membahas tiga agenda penting.
Tiga agenda penting itu yakni membahas data fisik, sosial ekonomi DAS Cidanau. Hal ini termasuk melakukan pendataan dan penelitian kualitas, kuantitas dan kebutuhan air sektor industri serta prediksi kebutuhan air masyarakat. Selain itu juga membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh UNEP dan IPB serta juga yang paling penting adalah pembahasan mengenai rencana, strategi dan pengelolaan DAS Cidanau.
Lalu forum membentuk tim perumus untuk membantu penyusunan berbagai dokumen dan hasil penelitian, termasuk juga mengidentifikasi langkah berikutnya seperti pentingnya ada peraturan daerah tentang pengelolaan DAS Cidanau, tim pengelola serta master plan dan mekanisme pengelolaan DAS Cidanau. Lalu pada tahun 2002, Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) terbentuk, bahkan mendapatkan SK Gubernur Provinsi Banten. Forum komunikasi ini terdiri dari pejabat pemerintah, swasta dan LSM, termasuk Rekonvasi Bhumi. Namun dalam perjalanannya juga mengalami kendala. Misalnya pergantian staf pemerintah yang juga termasuk dalam anggota FKDC, sehingga proses harus disosialisasikan lagi dari awal.
Yang cukup menggembirakan dalam sisi data dan informasi, ketika Bapedalda pada tahun 2001 membantu fasilitasi penyusunan Master Plan DAS Cidanau, pembuatan website dan pembaharuan peta digital DAS Cidanau.
Pada fase perkembangan pada tahun 2005-2009, FKDC memfokuskan diri pada penegasan bentuk pengelolaan terpadu oleh para pihak dan mewujudkan konsep hubungan hulu-hilir dalam merintis upaya imbal jasa lingkungan. Selain itu FKDC memperkuat perencanaan berjenjang dalam melakukan tahapan perencanaan. Hal ini dimulai dengan diskusi dengan warga hingga perencanaan pendanaan, evaluasi dan monitoring kegiatan.
Tim Teknis FKDC pada periode ini juga mengusulkan adanya perampingan struktur organisasi. Organisasi FKDC pada masa itu dinilai terlalu berat dan gemuk, hingga kurang optimal dalam bekerja mencapai tujuan. FKDC juga terus melakukan komunikasi dan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan, terutama yang terkait pengelolaan sumber daya air. Diantaranya berkomunikasi dengan Dewan SDA Provinsi Banten, Dinas
Imbal Jasa Lingkungan
Gagasan imbal jasa lingkungan muncul dari kesadaran bahwa kerjasama hubungan hulu-hilir ini dapat memberikan dampak positif bagi upaya pelestarian hulu DAS Cidanau, sekaligus juga memberikan nilai ekonomis bagi para pengguna air baik di hulu dan di hilir. Jika tutupan vegetasi di hulu sungai terjaga, maka pasokan air bersih akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Keterangan foto: suasana di dalam kawasan
Cagar Alam Rawa Danau, Provinsi Banten. Kawasan ini merupakan kawasan hulu DAS
Cidanau
DAS Cidanau merupakan sumber air bersih, terutama bagi masyarakat dan industri di hilir Sungai Cidanau yaitu Identifikasi pengguna dan pembeli jasa air untuk DAS Cidanau ini ini berdasarkan hasil dari berbagai penelitian, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Imperial College London, IPB dan lain sebagainya.
FKDC memulai komunikasi dengan pihak PT Krakatau Tirta Industri (KTI) untuk mulai bernegosiasi mekanisme transaksi jasa lingkungan. Proses ini setidaknya membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk memulai pelaksanaan pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu-hilir dalam mekanisme imbal jasa lingkungan.
Penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan oleh Gubernur Provinsi Banten dengan Direktur Utama PT KTI. Pada tahun 2005, kontrak antara FKDC dan KTI meliputi kawasan konservasi seluas 50 hektar yang tersebar di enam desa di kawasan DAS Cidanau.
Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan
Keterangan foto: Waduk
Kerenceng yang dikelola oleh
PT Krakatau Tirta Industri (KTI), berlokasi di Cilegon, Provinsi Banten |
Jangka waktu perjanjian yaitu 5 tahun dan uang dibayarkan dalam tiga tahapan (30% dalam 1 tahun pada saat penandatanganan, 30% dalam 1 tahun pada bulan ke-6 setelah penandatanganan kontrak dan 40% dalam 1 tahun bulan ke 12). Biaya pengelolaan jasa lingkungan per tahun maksimal 15% yang digunakan untuk perjalanan dinas, insentif tim Ad Hoc, pembuatan laporan, dokumentasi dan publikasi, rapat serta alat tulis kantor.
Awalnya PT KTI memberikan dana bagi penyedia jasa sebesar Rp 175 juta untuk 10 kelompok tani untuk jangka waktu 5 tahun. Namun pada tahun 2013-2014 ini dana yang diberikan oleh pemanfaat air berkembang mencapai Rp 2,5 milyar untuk jasa pengelolaan lingkungan bagi pemenuhan kebutuhan air baku di kawasan industri Cilegon dan sekitarnya.
Upaya yang baik ini membuahkan penghargaan Kalpataru, penghargaan lingkungan, pada tahun 2010 dan 2013 bagi Rekonvasi Bhumi dan PT KTI untuk kategori Penyelamat Lingkungan.
Meskipun membutuhkan proses yang cukup panjang dan perkembangannya cukup baik, Rahadian tidak lantas berpuas diri. Ia sadar betul bahwa masih banyak pekerjaan yang masih perlu dilakukan para pemangku kepentingan untuk pengelolaan terpadu di DAS Cidanau.
Keterangan foto: Muara
Sungai Cidanau di Desa Sindanglaya, Kecamatan Cinangka, Cilegon, Provinsi
Banten
|
Rencana pengembangan untuk pengelolaan terpadu DAS Cidanau masih perlu terus dikembangkan, misalnya dengan menggagas pembentukan Lembaga Pengelola jasa Lingkungan DAS Cidanau, sosialisasi dan kampanye bagi pemanfaat jasa lingkungan serta kalangan legislatif dan eksekutif pemerintahan, memperkuat kelembagaan masyarakat di hulu DAS Cidanau serta menggagas upaya pembangunan model desa wisata berbasis konservasi.
Pengelolaan Terpadu sebuah Daerah Aliran Sungai memang bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan secara instan dan dilakukan pada tataran forum serta wacana saja. Di balik sebuah keberhasilan, biasanya hampir selalu terdapat sebuah proses panjang komitmen, upaya dan kerja keras.Pengalaman berharga dari DAS Cidanau ini menunjukkan proses panjang dan berliku yang penuh tantangan hingga mencapai pada tahapan saat ini. Hal itu membutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Untuk lebih meningkatkan sinergi antara pemangku kepentingan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 7/2004, ada baiknya jika Balai DAS Kementerian Kehutanan dengan Pengelolaan SDA Wilayah Sungai oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS-C3) Kementerian Pekerjaan Umum dapat memulai dialog untuk berkoordinasi dalam pengelolaan Sumber Daya Air di DAS Cidanau ini.
Teks: Diella Dachlan
Foto: Deden Iman/Doc.CDTA 7849-INO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar