Kamis, 16 Oktober 2014

(ARTIKEL) Proses Perjalanan Imbal Jasa Lingkungan di DAS Cidanau



Keterangan foto: NP.Rahadian, Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi menunjukkan
skema mekanisme imbal jasa lingkungan di DAS Cidanau (23/4/14)
Tidak mudah menggagas sebuah upaya konservasi yang juga memiliki nilai ekonomis, apalagi jika hal ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan pengusaha.

Hal ini dialami NP.Rahadian, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bhumi. Rahadian memulai rintisan upaya ini sejak tahun 1998, persis setelah era reformasi Indonesia.  Rintisan ini dilakukan jauh sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.
 
“Awalnya bermula dari keprihatinan tentang Cidanau yang sangat potensial menjadi  sumber air bersih dan potensinya sebagai kawasan lindung” Kata Rahadian, yang akrab dipanggi Kang Nana, ketika ditemui di kediamannya di Kota Serang (23/4/14).


Menyadari kalau pengelolaan tidak mungkin dilakukan oleh satu dua pihak saja, Rekonvasi Bhumi menggagas pertemuan awal untuk membahas tentang pelestarian Cagar Alam Rawa Danau pada Desember 1998. Momentum itu tidak serta merta berhasil. Karena meskipun ada kesepakatan awal antara berbagai pihak, namun pelaksanaan ke tahap berikutnya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.




Keterangan foto: Cagar Alam Rawa Danau dengan luas 3.500 hektar berada pada tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Serang, yaitu Kecamatan Padarincang, Kecamatan Mancak dan Kecamatan Gunung Sari

Fase Pengembangan
Rahadian mencatat tahapan yang cukup menggembirakan untuk upaya pelestarian Cagar Alam Rawa Danau mulai terbuka pada tahun 2001, dengan bantuan beberapa orang di institusi pemerintahan yang memiliki visi yang sama. Ketika itu Lokakarya DAS Cidanau pada bulan Agustus Tahun 2001 membahas tiga agenda penting.

Tiga agenda penting itu yakni membahas data fisik, sosial ekonomi DAS Cidanau. Hal ini termasuk melakukan pendataan dan penelitian kualitas, kuantitas dan kebutuhan air sektor industri serta prediksi kebutuhan air masyarakat. Selain itu juga membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh UNEP dan IPB serta juga yang paling penting adalah pembahasan mengenai rencana, strategi dan pengelolaan DAS Cidanau.

Lalu forum membentuk tim perumus untuk membantu penyusunan berbagai dokumen dan hasil penelitian, termasuk juga mengidentifikasi langkah berikutnya seperti pentingnya ada peraturan daerah tentang pengelolaan DAS Cidanau, tim pengelola serta master plan dan mekanisme pengelolaan DAS Cidanau.  Lalu pada tahun 2002, Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) terbentuk, bahkan mendapatkan SK Gubernur Provinsi Banten. Forum komunikasi ini terdiri dari pejabat pemerintah, swasta dan LSM, termasuk Rekonvasi Bhumi. Namun dalam perjalanannya juga mengalami kendala. Misalnya pergantian staf pemerintah yang juga termasuk dalam anggota FKDC, sehingga proses harus disosialisasikan lagi dari awal.

Yang cukup menggembirakan dalam sisi data dan informasi, ketika Bapedalda pada tahun 2001 membantu fasilitasi penyusunan Master Plan DAS Cidanau, pembuatan website dan pembaharuan peta digital DAS Cidanau.

Pada fase perkembangan pada tahun 2005-2009, FKDC memfokuskan diri pada penegasan bentuk pengelolaan terpadu oleh para pihak dan mewujudkan konsep hubungan hulu-hilir dalam merintis upaya imbal jasa lingkungan. Selain itu FKDC memperkuat perencanaan berjenjang dalam melakukan tahapan perencanaan. Hal ini dimulai dengan diskusi dengan warga hingga perencanaan pendanaan, evaluasi dan monitoring kegiatan.

Tim Teknis FKDC pada periode ini juga mengusulkan adanya perampingan struktur organisasi. Organisasi FKDC pada masa itu dinilai terlalu berat dan gemuk, hingga kurang optimal dalam bekerja mencapai tujuan. FKDC juga terus melakukan komunikasi dan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan, terutama yang terkait pengelolaan sumber daya air.  Diantaranya berkomunikasi dengan Dewan SDA Provinsi Banten, Dinas  SDA dan Permukiman Provinsi Banten serta Tim Koordinasi Pengelolaan SDA Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (WS - C3) yang diinisiasi oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS-C3), Direktorat Jenderal SDA  Kementerian Pekerjaan Umum sesuai amanat Undang-Undang No 7/2004 tentang SDA.




Imbal Jasa Lingkungan


Gagasan imbal jasa lingkungan muncul dari kesadaran bahwa kerjasama hubungan hulu-hilir ini dapat memberikan dampak positif bagi upaya pelestarian hulu DAS Cidanau, sekaligus juga memberikan nilai ekonomis bagi para pengguna air baik di hulu dan di hilir. Jika tutupan vegetasi di hulu sungai terjaga, maka pasokan air bersih akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.



Keterangan foto: suasana di dalam kawasan Cagar Alam Rawa Danau, Provinsi Banten. Kawasan ini merupakan kawasan hulu DAS Cidanau
 

DAS Cidanau merupakan sumber air bersih, terutama bagi masyarakat dan industri di hilir  Sungai Cidanau yaitu Identifikasi pengguna dan pembeli jasa air untuk DAS Cidanau ini ini berdasarkan hasil dari berbagai penelitian, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Imperial College London, IPB dan lain sebagainya.

FKDC memulai komunikasi dengan pihak PT Krakatau Tirta Industri (KTI) untuk mulai bernegosiasi mekanisme transaksi jasa lingkungan. Proses ini setidaknya membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk memulai pelaksanaan pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu-hilir dalam mekanisme imbal jasa lingkungan.

Penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan oleh Gubernur Provinsi Banten dengan Direktur Utama PT KTI. Pada tahun 2005, kontrak antara FKDC dan KTI meliputi kawasan konservasi seluas 50 hektar yang tersebar di enam desa di kawasan DAS Cidanau.


Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan



Keterangan foto: Waduk Kerenceng yang dikelola oleh
PT Krakatau Tirta Industri (KTI),
berlokasi di Cilegon, Provinsi Banten
Rahadian menjelaskan tentang awal mula pelaksanaan imbal jasa lingkungan setelah nota kesepahaman ditandatangani dan hasil proses negosiasi. Pihak penyedia jasa dalam hal ini para kelompok tani menerima Rp 1,200,000 untuk setiap hektar jasa pengelolaan lahan setiap tahunnya. Dalam perjanjian, transaksi dilakukan dengan FKDC sebagai mediator antara penyedia jasa (kelompok masyarakat) dengan pihak pemberi jasa (pihak PT KTI).

Jangka waktu perjanjian yaitu 5 tahun dan uang dibayarkan dalam tiga tahapan (30% dalam 1 tahun pada saat penandatanganan, 30% dalam 1 tahun pada bulan ke-6 setelah penandatanganan kontrak dan 40% dalam 1 tahun bulan ke 12). Biaya pengelolaan jasa lingkungan per tahun maksimal 15% yang digunakan untuk perjalanan dinas, insentif tim Ad Hoc, pembuatan laporan, dokumentasi dan publikasi, rapat serta alat tulis kantor.

Awalnya PT KTI memberikan dana bagi penyedia jasa sebesar Rp 175 juta untuk 10 kelompok tani untuk jangka waktu 5 tahun. Namun pada tahun 2013-2014 ini dana yang diberikan oleh pemanfaat air berkembang mencapai Rp 2,5 milyar untuk jasa pengelolaan lingkungan bagi pemenuhan kebutuhan air baku di kawasan industri Cilegon dan sekitarnya.

Upaya yang baik ini membuahkan penghargaan Kalpataru, penghargaan lingkungan, pada tahun 2010 dan 2013 bagi Rekonvasi Bhumi dan PT KTI untuk kategori Penyelamat Lingkungan.

Meskipun membutuhkan proses yang cukup panjang dan perkembangannya cukup baik, Rahadian tidak lantas berpuas diri. Ia sadar betul bahwa masih banyak pekerjaan yang masih perlu dilakukan para pemangku kepentingan untuk pengelolaan terpadu di DAS Cidanau.

Keterangan foto: Muara Sungai Cidanau di Desa Sindanglaya, Kecamatan Cinangka, Cilegon, Provinsi Banten

Rencana pengembangan untuk pengelolaan terpadu DAS Cidanau masih perlu terus dikembangkan, misalnya dengan menggagas pembentukan Lembaga Pengelola jasa Lingkungan DAS Cidanau,  sosialisasi dan kampanye bagi pemanfaat jasa lingkungan serta kalangan legislatif dan eksekutif pemerintahan, memperkuat kelembagaan masyarakat di hulu DAS Cidanau serta menggagas upaya pembangunan model desa wisata berbasis konservasi.

Pengelolaan Terpadu sebuah Daerah Aliran Sungai memang bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan secara instan dan dilakukan pada tataran forum serta wacana saja. Di balik sebuah keberhasilan, biasanya hampir selalu terdapat sebuah proses panjang komitmen, upaya dan kerja keras.Pengalaman berharga dari DAS Cidanau ini menunjukkan proses panjang dan berliku yang penuh tantangan hingga mencapai pada tahapan saat ini. Hal itu membutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.

Untuk lebih meningkatkan sinergi antara pemangku kepentingan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No 7/2004, ada baiknya jika
Balai DAS Kementerian Kehutanan dengan Pengelolaan SDA Wilayah Sungai oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS-C3) Kementerian Pekerjaan Umum dapat memulai dialog untuk berkoordinasi dalam pengelolaan Sumber Daya Air di DAS Cidanau ini.


Teks: Diella Dachlan
Foto: Deden Iman/Doc.CDTA 7849-INO



Tidak ada komentar:

Posting Komentar