Oleh: M. Napitupulu
Pensiunan PNS Kementerian PUPR, Team Leader CDTA 7849-INO. Konsultan Bidang Irigasi dan Sumber Daya Air; Anggota Kemitraan Air Indonesia.
Keterangan foto: Sungai Ciujung, Provinsi Banten
Sangat tragis, Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan luas, sumber air melimpah, kaya keaneka ragaman hayati, iklim yang sesuai serta jumlah penduduk besar dengan 70 % terlibat pertanian ternyata setiap tahun mengimpor bahan pangan gandum lebih 7 juta ton, beras ½ sampai 2 juta ton, jagung, kedele, daging sapi, susu, buah, dll yang menguras devisa $ 9 miliar/Rp 100 triliun dan menghilangkan peluang kegiatan petani.
Mengapa demikian padahal waktu orde baru 1984 kita pernah mencapai swasembada beras? Dalam periode KIB II, pemerintah membuat program surplus beras 10 juta ton dicapai 2013 namun meleset. Sekarang Kabinet Kerja Joko Widodo-JK dengan Nawa Cita memprogramkan swasembada beras dalam 2-3 tahun ke depan.
Apa sesungguhnya yang terjadi, bagaimana perumusan Rensta sampai program tahunan untuk pertanian pangan beririgasi yang bersifat lintas sektor, sudahkah dirumuskan secara bersama atau masih fragmented oleh masing-masing kementerian?
Negara-negara yang bijak dan maju memikirkan pembangunannya untuk 2 generasi misalnya Cina dan India sudah punya program pangan 2050. Negara dengan fundamental ekonomi yang kokoh hanyalah yang memprioritaskan sektor pertanian, sumber daya air dan perdesaan dalam pembangunannya karena mereka memahami betul prinsip pokok “pengembangan” menyangkut upaya agar kebutuhan produksi pertanian untuk seluruh penduduk adalah dihasilkan oleh jumlah penduduk sesedikit mungkin. Sehingga dengan keadaan itu akan memberikan kepada penduduk lainnya kesempatan berspesialisasi untuk produksi komoditi sektor lainnya yaitu sektor jasa dan sektor industri. Indonesia seyogianya kembali ke basic policy dimana sektor pertanian merupakan mesin utama pertumbuhan.
Keterangan foto: salah satu sawah yang menggunakan air dari DAS Cidanau di dekat pintu masuk kawasan Rawa Danau, Provinsi Banten
Visi Pertanian Pangan.
Secara teoritis kapasitas produksi beras adalah fungsi:
- luas sawah beririgasi dan tadah hujan (Li),
- intensitas tanam / tahun (It),
- hasil panen per ha (Hp) dan (iv) kehandalan proses paska panen sampai siap dipasarkan (Ppp). Rumusnya Pr = f (Li, Ip, Hp, Ppp), sehingga untuk meningkatkan produksi beras kita perlu meningkatkan ke empat factor produksi tersebut di atas, melalui pembangunan pertanian beririgasi yang efektif, terpadu dan komit didukung para pihak terkait. Berikut adalah kondisi yang kita hadapi.
Kita terkendala oleh alih fungsi sawah menjadi perumahan, kota, lokasi industri dll 80.000 ha per tahun. Intensitas tanam terus merosot lebih kecil dari 150 % karena menurunnya debit aliran sungai akibat kerusakan DAS, serta kondisi daerah irigasi (DI) yang rusak dan sering kebanjiran. Tentang hasil panen per ha sangat tergantung kecermatan olah tanah dan masukan saprodi yang terkendala karena petani subsisten miskin. Secara umum proses paska panen sampai pemasaran beras masih kurang efisien.
Bagaimana ke depan? tampaknya pola produksi beras dengan mengandalkan petani gurem berlahan sempit inilah yang perlu kita ubah agar keempat faktor penentu produksi tersebut dapat dioptimalkan serta sekaligus dapat memberi peluang terlepasnya petani dari belenggu kemiskinan. Untuk itu Kemen. Pertanian bersama Kemen. PUPR perlu segera merumuskan visi dan kebijakan pertanian pangan beririgasi jangka panjang, sebagai acuan penyusunan Renstra dan program tahunan pertanian dan irigasi yang terpadu.
Dalam tulisan “Politik Pertanian sebagai ilmu (Kompas 16/5/2012) Syamsoe’oed Sajad, beropini ‘pertanian subsisten memang sudah tidak sesuai lagi dalam konstelasi ekonomi modern. Argumennya pertanian adalah suatu bidang usaha yang prosesnya sebagai industri. Ada lahan garapan, bahan baku, dan sarana produksi. Ada proses, produk dan system manajerial dan tentu saja juga butuh permodalan’. Perhitungannya dengan luas garapan lebih dari 10 ha sebagai hasil pengelompokan puluhan petani gurem akan memudahkan pembagian air, penggarapan tanah, pengendalian hama, penyaluran subsidi saprodi, menaikkan produksi dan membisniskan produk gabah kering panen ke Bulog.
Keterangan foto: Sawah di sisi Sungai Ciujung, Provinsi Banten,
menggunakan pompa swadaya pribadi
Di Indonesia dengan pola petani gurem, 50 persen rakyat atau 5 orang dari 10 orang penduduk terlibat mengurusi pertanian pangan. Ini berarti sebanyak 50 persen saja hasil tani dapat dijual kepada penduduk yang bukan petani dan ini dilakukan hanya oleh sebagian kecil jumlah petani (10 %) dengan pemilikan di atas 2 ha; sedangkan petani gurem yang banyak jumlahnya (40 %) dengan pemilikan 0 – 0,3 ha demi kebutuhan sendiri akan menjual panen padinya hampir tidak ada.
Menarik dari ide pengelompokan 10 ha tersebut di atas, dihubungkan dengan posisi labil para petani gurem kita, maka terlihat jalan pintas untuk menaikkan dengan drastis produksi pertanian pangan Indonesia: yaitu dengan menjadikan semua petani menjadi petani komersial yang tergabung dalam pertanian koperasi usaha kecil menengah (UKM) dengan modal bersama lahan garapan minimal 1 petak kuarter, idealnya 1 petak tersier luas lebih 10 ha dengan petak sawah yang terkonsolidasi sehingga sesuai untuk penggunaan alsintan dalam proses olah tanah, tanam dan panen.
Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern.
Gagasan besarnya, strategi nasional mencapai kedaulatan dan ekspor pangan 20-40 tahun ke depan adalah mengembangkan secara bertahap 1 juta “Koperasi UKM Pertanian Pangan Komersial dengan Mekanisasi” untuk mengusahakan 8-10 juta ha lahan beririgasi. Sistem dengan paradigma baru ini menjadi solusi penyediaan pangan yang berkelanjutan dan sekaligus memberi peluang ekspor beras serta mengurangi kesenjangan pendapatan para petani gurem karena mereka akan mempunyai waktu luang untuk mengusahakan tambahan penghasilan (selain laba koperasi) di sektor industri rumah tangga, jasa perbengkelan, pertukangan/konstruksi dll melalui pelatihan orang dewasa yang perlu disediakan oleh pemerintah dan CSR terkait.
Untuk DI eksisting, akhir-akhir ini Kemen. PUPR memerakarsai Strategi Modernisasi Irigasi dengan lima pilar: i. Ketersediaan Air, ii. Infrastruktur Irigasi, iii. Pengelolaan Irigasi, iv. Kelembagaan Pengelola Irigasi, dan v. SDM berbasis pengetahuan; yang tentu saja belum sepenuhnya dapat secara utuh meningkatkan ke empat faktor produksi tersebut di atas.
Ke depan dalam rangka optimalisasi upaya peningkatan produksi beras maka strategi lima pilar modernisasi irigasi perlu dikembangkan bersama oleh Kemen Pertanian dan Kemen. PUPR menjadi strategi Lima Pilar Pertanian Beririgasi yang Modern meliputi: P1. Ketersediaan Air, P2. Infrastruktur Irigasi, P3. Sawah dengan petak besar cocok untuk mekanisasi budidaya padi, P4. Pengelolaan Irigasi didukung Kelembagaan dan SDM, dan P5. Usaha Tani Pertanian Pangan Komersial.
Dengan demikian percepatan peningkatan produksi beras akan terbagi dua program. Program pertama: Intensifikasi Pertanian pada DI eksisting 7,3 juta ha, dengan Pola Pertanian Pangan Koperasi UKM. Strateginya membangun Lima Pilar Modernisasi Pertanian Beririgasi tersebut di atas. Program kedua: Ekstensifikasi Pertanian membuka DI Baru (? Ha) dengan Pola Pertanian Pangan UKM.
Strateginya membangun Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern di P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Papua meliputi:
P1: Penyediaan air irigasi;
P2: Pembangunan infrastruktur irigasi baru;
P3: Pencetakan sawah baru petakan besar yang sesuai mekanisasi pertanian untuk para UKM yang mendapat konsesi lahan sawah 25 – 50 ha, terkait P5;
P4: Mempersiapkan sistem pengelolaan irigasi;
P5: Membangun sistem UKM pertanian padi komersial terpadu, mulai tanam padi sampai pngemasan beras siap dipasarkan. Para UKM diberi konsesi sawah seperti konsesi lahan sawit.
Berapa luas DI baru yang perlu dibangun bertahap dalam 10-30 tahun ke depan?
Dengan persamaan Neraca Beras Supply < , = , > Demand, kebutuhan DI baru dapat dihitung untuk berbagai skenario: proyeksi pertumbuhan penduduk, konsumsi beras /kapita/tahun, prediksi luas alih fungsi sawah, prediksi intensitas tanam dan hasil panen per ha dihubungkan dengan kebutuhan DI baru yang perlu dibangun untuk mencapai daulat atau ekspor 2 juta ton beras.
Di mana DI baru dibangun?; kita tahu pengguna lahan terbesar, selain irigasi adalah perkebunan sawit mencapai 10 Juta ha 2015, dibanding luas DI 7,3 juta ha, dan reklamasi rawa 1,83 juta ha. Sedikitnya 40 % areal perkebunan sawit cocok untuk pertanian padi beririgasi. Ke depan perlu dilakukan pertukaran konsesi sawit lama yang akan habis waktunya menjadi konsesi sawah beririgasi dengan membuka lahan reklamasi rawa yang sesuai untuk sawit sebagai gantinya.
Foto: Deden Iman/Dok. CDTA