Senin, 07 Desember 2015

(LAPORAN FOTO) Pengelolaan Banjir Terpadu di Kota Ambon

https://www.scribd.com/doc/292437427/Laporan-Foto-Pengelolaan-Banjir-Ambon-Nov-2015


Laporan Foto Pengelolaan Banjir Terpadu di Kota Ambon,  bertujuan untuk mendokumentasikan upaya berbagai pihak dalam mengatasi persoalan banjir di Kota Ambon.

Banjir besar yang melanda Kota Ambon pada pertengahan tahun 2012 dan 2013 yang lalu, membuat kita semakin menyadari bahwa penanganan banjir tidak lagi bisa dilakukan secara terpisah, melainkan harus ditangani secara komprehensif dan terpadu.

Penanganan banjir terpadu perlu menggabungkan pendekatan struktural dan non-struktural yang melibatkan dan meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan terkait.

Laporan ini juga mendokumentasikan kondisi lima sungai utama yang berada di Kota Ambon, yaitu Wai (Sungai) Batu Merah, Wai Batu Gajah, Wai Batu Gantung, Wai Tomu dan Wai Ruhu. Sungai di Kota Ambon dan Pulau Ambon masuk ke dalam Wilayah Sungai Ambon-Seram.

Isi dari laporan ini yaitu:

  •     Ambon: Kota Teluk Elok yang Harus Waspada Bencana
  •     Menelusuri Jejak Banjir di Kota Ambon
  •     Bicara Solusi Banjir: Dari Respon Hingga Pengelolaan Banjir Terpadu
  •     Pilihan Relokasi yang Tidak Mudah
  •     5 Sungai di Ambon dalam Gambar
  •     Tentang Program Pengelolaan Banjir Terpadu
  •     Lampiran dan Referensi




Penyusun: Diella Dachlan
Fotografer: Ng Swan Ti

Download:

Laporan Foto Pengelolaan Banjir Terpadu di Kota Ambon (PDF, 8MB)

Kamis, 03 Desember 2015

(ARTIKEL) Lokakarya Nasional Pengembangan Kapasitas Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Keterangan foto:
Dirjen SDA, Ir.Mudjiadi, MSc,
ketika memberikan sambutan dan membuka acara (27/11/15)


Jakarta- “Terwujudnya kapasitas dalam pengelolaan sumber daya air yang mandiri dengan berbasis kualitas dan bernilai tambah” adalah tujuan besar dari pengembangan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya air (SDA) di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Dirjen SDA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Ir.Mudjiadi, MSc, pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kapasitas Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, yang dilaksanakan di Ruang Serba Guna Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR di Jakarta (27/11/15). Lokakarya ini merupakan kegiatan akhir dari program Capacity Development Technical Assistance (CDTA) 7849-INO River Basin and Water Resources Management. Program ini dibiayai dengan dana hibah Japan Fund For Poverty Reduction yang secara administrasi disalurkan melalui Asian Development Bank (ADB).

Sejak pertengahan 2012 hingga November 2015, berbagai kegiatan telah dilaksanakan oleh Direktorat Bina Penatagunaan SDA Kementerian PUPR dibantu konsultan CDTA melibatkan pejabat dan staf Dinas Provinsi dan Balai/Besar Wilayah Sungai (B/BWS) di empat provinsi percontohan, yaitu Aceh, Sulawesi Utara, Banten dan Maluku.   Selain memberikan apresiasi atas program yang dijalankan, Mudjiadi mengingatkan bahwa payung hukum diperlukan sebagai landasan hukum dalam pengelenggaraan Strategi Pengembangan Kapasitas dalam Pengelolaan SDA.

“Rancangan Peraturan Menteri PUPR untuk pengembangan kapasitas dalam pengelolaan SDA sudah disusun dan semoga dapat segera ditandatangani untuk menjadi Peraturan Menteri PUPR. Hal ini agar upaya pengembangan kapasitas SDM dalam Pengelolaan SDA dapat diinternalisasikan sepenuhnya dalam program jangka menengah masing-masing Badan Pengembangan SDM, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya.” Kata Mudjiadi dalam sambutan pembukaan. Mudjiadi berharap agar program peningkatan kapasitas PSDA oleh mitra lembaga donor lainnya, dapat juga mengacu pada strategi yang telah disusun melalui CDTA 7849 INO.

Eric Quincieu, Water Resources Specialist ADB, memberikan apresiasi atas kegiatan yang sudah selesai dilaksanakan dan mendukung adanya landasan hukum untuk internalisasi dan operasionalisasi pencapaian tujuan jangka panjang pengembangan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

“Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi juga akan membantu proses pembelajaran untuk peningkatan kapasitas SDM, misalnya dengan model e-learning. Internet memungkinkan kita belajar mandiri tentang teknologi dan inovasi dalam pengelolaan SDA. Hal ini juga sudah kita lakukan di ADB. Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan metode pelatihan konvensional seperti pelatihan dan pelatihan Training of Trainer.” Eric menambahkan.



Keterangan foto: Lokakarya Nasional Pengembangan Kapasitas Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, di Ruang Serba Guna Ditjen SDA Kementerian PUPR. Alumni peserta pelatihan dari Balai Wilayah Sumatera I, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dan Universitas Sam Ratulangi juga memberikan paparan tentang manfaat yang diperoleh dari rangkaian pelatihan dalam proyek CDTA 7849-INO. (27/11/15)


 Dalam lokakarya ini, Tim Konsultan CDTA bersama Sub-Dit Kelembagaan Bina Penatagunaan SDA menyajikan paparan Pencapaian Proyek dan Strategi Pengembangan Kapasitas dalam Pengelolaan SDA, Rencana Pengembangan Transformasi B/BWS dan Irrigation Policy Outlook termasuk kebijakan Operasional dan Pemeliharaan diikuti oleh sesi diskusi.

“Program CDTA ini sudah merumuskan konsep strategi untuk  pengembangan kapasitas dalam pengelolaan SDA dengan  pendekatan pengembangan kapasitas SDM, kapasitas organisasi dan wadah koordinasi termasuk peran masyarakat.” kata Dr.Ir. Agus Suprapto, MSc, Direktur Bina Penatagunaan Sumber SDA Kementerian PUPR dalam arahannya.

“Ke depan, kita harus memikirkan bagaimana menerjemahkan konsep ini dalam pelaksanaanya. Salah satunya adalah pengaturan SDM dan penempatannya, serta melibatkan perguruan tinggi untuk ikut mendidik dan melatih, hal-hal ini yang perlu kita pikirkan dan laksanakan di masa mendatang” kata Agus menambahkan. 


Keterangan foto: Dr.Ir. Agus Suprapto, MSc,
Direktur Bina Penatagunaan Sumber SDA Kementerian PUPR

Lokakarya ini dihadiri oleh 50 peserta, antara lain di lingkungan Ditjen SDA Kementerian PUPR, termasuk Balai/Besar Wilayah Sungai dan Dinas dari Sumatera, Sulawesi Utara, Banten dan Provinsi Maluku. Selain itu hadir pula Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, Kementerian Dalam Negeri dan mitra lembaga donor antara lain Asian Development Bank (ADB), Japan International Cooperation Agency, Worl Bank, UNESCO-IHE serta kalangan swasta dan perguruan tinggi.

Teks: Diella Dachlan
Foto: Burhanudin Amri

Kamis, 12 November 2015

(OPINI) Modernisasi Pertanian Beririgasi Menuju Kedaulatan dan Ekspor Beras!

Oleh: M. Napitupulu


Pensiunan PNS Kementerian PUPR, Team Leader CDTA 7849-INO.  Konsultan Bidang Irigasi dan Sumber Daya Air; Anggota Kemitraan Air Indonesia.


 Keterangan foto: Sungai Ciujung, Provinsi Banten

Sangat tragis, Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan luas, sumber air melimpah, kaya keaneka ragaman hayati, iklim yang sesuai serta jumlah penduduk besar dengan 70 % terlibat pertanian ternyata setiap tahun mengimpor bahan pangan gandum lebih 7 juta ton, beras ½ sampai 2 juta ton, jagung, kedele, daging sapi, susu, buah, dll yang menguras devisa $ 9 miliar/Rp 100 triliun dan menghilangkan peluang kegiatan petani.

Mengapa demikian padahal waktu orde baru 1984 kita pernah mencapai swasembada beras? Dalam periode KIB II, pemerintah membuat program surplus beras 10 juta ton dicapai 2013 namun meleset. Sekarang Kabinet Kerja Joko Widodo-JK dengan Nawa Cita memprogramkan swasembada beras dalam 2-3 tahun ke depan.

Apa sesungguhnya yang terjadi, bagaimana perumusan Rensta sampai program tahunan untuk pertanian pangan beririgasi yang bersifat lintas sektor, sudahkah dirumuskan secara bersama atau masih fragmented oleh masing-masing kementerian?

Negara-negara yang bijak dan maju memikirkan pembangunannya untuk 2 generasi misalnya Cina dan India sudah punya program pangan 2050. Negara dengan fundamental ekonomi yang kokoh hanyalah yang memprioritaskan sektor pertanian, sumber daya air dan perdesaan dalam pembangunannya karena mereka memahami betul prinsip pokok “pengembangan” menyangkut upaya agar kebutuhan produksi pertanian untuk seluruh penduduk adalah dihasilkan oleh jumlah penduduk sesedikit mungkin. Sehingga dengan keadaan itu akan memberikan kepada penduduk lainnya kesempatan berspesialisasi untuk produksi komoditi sektor lainnya yaitu sektor jasa dan sektor industri. Indonesia seyogianya kembali ke basic policy dimana sektor pertanian merupakan mesin utama pertumbuhan.


Keterangan foto: salah satu sawah yang menggunakan air dari DAS Cidanau di dekat pintu masuk kawasan Rawa Danau, Provinsi Banten


Visi Pertanian Pangan.

Secara teoritis kapasitas produksi beras adalah fungsi:

  1. luas sawah beririgasi dan tadah hujan (Li), 
  2. intensitas tanam / tahun (It), 
  3. hasil panen per ha (Hp) dan (iv) kehandalan proses paska panen sampai siap dipasarkan (Ppp). Rumusnya Pr = f (Li, Ip, Hp, Ppp), sehingga untuk meningkatkan produksi beras kita perlu meningkatkan ke empat factor produksi tersebut di atas, melalui pembangunan pertanian beririgasi yang efektif, terpadu dan komit didukung para pihak terkait. Berikut adalah kondisi yang kita hadapi. 
Kita terkendala oleh alih fungsi sawah menjadi perumahan, kota, lokasi industri dll 80.000 ha per tahun. Intensitas tanam terus merosot lebih kecil dari 150 % karena menurunnya debit aliran sungai akibat kerusakan DAS, serta kondisi daerah irigasi (DI) yang rusak dan sering kebanjiran. Tentang hasil panen per ha sangat tergantung kecermatan olah tanah dan masukan saprodi yang terkendala karena petani subsisten miskin. Secara umum proses paska panen sampai pemasaran beras masih kurang efisien.

Bagaimana ke depan? tampaknya pola produksi beras dengan mengandalkan petani gurem berlahan sempit inilah yang perlu kita ubah agar keempat faktor penentu produksi tersebut dapat dioptimalkan serta sekaligus dapat memberi peluang terlepasnya petani dari belenggu kemiskinan. Untuk itu Kemen. Pertanian bersama Kemen. PUPR perlu segera merumuskan visi dan kebijakan pertanian pangan beririgasi jangka panjang, sebagai acuan penyusunan Renstra dan program tahunan pertanian dan irigasi yang terpadu.  

Dalam tulisan “Politik Pertanian sebagai ilmu (Kompas 16/5/2012) Syamsoe’oed Sajad, beropini ‘pertanian subsisten memang sudah tidak sesuai lagi dalam konstelasi ekonomi modern. Argumennya pertanian adalah suatu bidang usaha yang prosesnya sebagai industri. Ada lahan garapan, bahan baku, dan sarana produksi. Ada proses, produk dan system manajerial dan tentu saja juga butuh permodalan’. Perhitungannya dengan luas garapan lebih dari 10 ha sebagai hasil pengelompokan puluhan petani gurem akan memudahkan pembagian air, penggarapan tanah, pengendalian hama, penyaluran subsidi saprodi, menaikkan produksi dan membisniskan produk gabah kering panen ke Bulog.



Keterangan foto: Sawah di sisi Sungai Ciujung, Provinsi Banten,
menggunakan pompa swadaya pribadi


Di Indonesia dengan pola petani gurem, 50 persen rakyat atau 5 orang dari 10 orang penduduk terlibat mengurusi pertanian pangan. Ini berarti sebanyak 50 persen saja hasil tani dapat dijual kepada penduduk yang bukan petani dan ini dilakukan hanya oleh sebagian kecil jumlah petani (10 %) dengan pemilikan di atas 2 ha; sedangkan petani gurem yang banyak jumlahnya (40 %) dengan pemilikan 0 – 0,3 ha demi kebutuhan sendiri akan menjual panen padinya hampir tidak ada.

Menarik dari ide pengelompokan 10 ha tersebut di atas, dihubungkan dengan posisi labil para petani gurem kita, maka terlihat jalan pintas untuk menaikkan dengan drastis produksi pertanian pangan Indonesia: yaitu dengan menjadikan semua petani menjadi petani komersial yang tergabung dalam pertanian koperasi usaha kecil menengah (UKM) dengan modal bersama lahan garapan minimal 1 petak kuarter, idealnya 1 petak tersier luas lebih 10 ha dengan petak sawah yang terkonsolidasi sehingga sesuai untuk penggunaan alsintan dalam proses olah tanah, tanam dan panen.

Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern.

Gagasan besarnya, strategi nasional mencapai kedaulatan dan ekspor pangan 20-40 tahun ke depan adalah mengembangkan secara bertahap 1 juta “Koperasi UKM Pertanian Pangan Komersial dengan Mekanisasi” untuk mengusahakan 8-10 juta ha lahan beririgasi. Sistem dengan paradigma baru ini menjadi solusi penyediaan pangan yang berkelanjutan dan sekaligus memberi peluang ekspor  beras serta mengurangi kesenjangan pendapatan para petani gurem karena mereka akan mempunyai waktu luang untuk mengusahakan tambahan penghasilan (selain laba koperasi) di sektor industri rumah tangga, jasa perbengkelan, pertukangan/konstruksi dll melalui pelatihan orang dewasa yang perlu disediakan oleh pemerintah dan CSR terkait.

Untuk DI eksisting, akhir-akhir ini Kemen. PUPR memerakarsai Strategi Modernisasi Irigasi dengan lima pilar: i. Ketersediaan Air, ii. Infrastruktur Irigasi, iii. Pengelolaan Irigasi, iv. Kelembagaan Pengelola Irigasi, dan v. SDM berbasis pengetahuan; yang tentu saja belum sepenuhnya dapat secara utuh meningkatkan ke empat faktor produksi tersebut di atas.

Ke depan dalam rangka optimalisasi upaya peningkatan produksi beras maka strategi lima pilar modernisasi irigasi perlu dikembangkan bersama oleh Kemen Pertanian dan Kemen. PUPR menjadi strategi Lima Pilar Pertanian Beririgasi yang Modern meliputi: P1. Ketersediaan Air, P2. Infrastruktur Irigasi, P3. Sawah dengan petak besar cocok untuk mekanisasi budidaya padi, P4. Pengelolaan Irigasi didukung Kelembagaan dan SDM, dan P5. Usaha Tani Pertanian Pangan Komersial.

Dengan demikian percepatan peningkatan produksi beras akan terbagi dua program. Program pertama: Intensifikasi Pertanian pada DI eksisting 7,3 juta ha, dengan Pola Pertanian Pangan Koperasi UKM. Strateginya membangun Lima Pilar Modernisasi Pertanian Beririgasi tersebut di atas. Program kedua: Ekstensifikasi Pertanian membuka DI Baru (? Ha) dengan Pola Pertanian Pangan UKM.

Strateginya membangun Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern di P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Papua meliputi:
P1: Penyediaan air irigasi;
P2: Pembangunan infrastruktur irigasi baru;
P3: Pencetakan sawah baru petakan besar yang sesuai mekanisasi pertanian untuk para UKM yang mendapat konsesi lahan sawah 25 – 50 ha, terkait P5;
P4: Mempersiapkan sistem pengelolaan irigasi; 
P5: Membangun sistem UKM pertanian padi komersial terpadu, mulai tanam padi sampai pngemasan beras siap dipasarkan. Para UKM diberi konsesi sawah seperti konsesi lahan sawit.

Berapa luas DI baru yang perlu dibangun bertahap dalam 10-30 tahun ke depan?

Dengan persamaan Neraca Beras Supply < , = , > Demand, kebutuhan DI baru dapat dihitung untuk berbagai skenario: proyeksi pertumbuhan penduduk, konsumsi beras /kapita/tahun, prediksi luas alih fungsi sawah, prediksi intensitas tanam dan hasil panen per ha dihubungkan dengan kebutuhan DI baru yang perlu dibangun untuk mencapai daulat atau ekspor 2 juta ton beras.

Di mana DI baru dibangun?; kita tahu pengguna lahan terbesar, selain irigasi adalah perkebunan sawit mencapai 10 Juta ha 2015, dibanding luas DI 7,3 juta ha, dan reklamasi rawa 1,83 juta ha. Sedikitnya 40 % areal perkebunan sawit cocok untuk pertanian padi beririgasi. Ke depan perlu dilakukan pertukaran konsesi sawit lama yang akan habis waktunya menjadi konsesi sawah beririgasi dengan membuka lahan reklamasi rawa yang sesuai untuk sawit sebagai gantinya.

Foto: Deden Iman/Dok. CDTA

Selasa, 27 Oktober 2015

(KUESIONER) Irrigation Policy Outlook


Keterangan foto: Petani di DAS Ciujung, Provinsi Banten


Program Capacity Development Technical Assistance (CDTA 7849-INO) membantu Direktorat Irigasi dan Rawa untuk menyusun Irrigation Policy Outlook. Respon dari kuesioner ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan irigasi di masa mendatang.

Kuesioner Irrigation Policy Outlook ini terdiri dari tiga bagian, yaitu :
Persepsi tentang irigasi saat ini
Visi tentang irigasi di masa mendatang
Hal yang perlu dilakukan untuk mencapai visi.

Untuk itu, kami sangat menghargai partisipasi Bapak dan Ibu di dalam mengisi kuesioner ini, dengan mendownload dokumen dengan link sebagai berikut:

KUESIONER IRRIGATION POLICY OUTLOOK

Kuesioner dapat dikirimkan ke: cdta_ino_7849@yahoo.com.

Terima kasih atas perhatian, partisipasi dan kerjasamanya


Rabu, 21 Oktober 2015

(PEDOMAN) Pengukuran Kinerja Organisasi Pengelola SDA Wilayah Sungai



Salah satu bangunan air di Provinsi Banten

Untuk mengukur kinerja Organisasi Pengelola Sumber Daya Air (SDA) Wilayah Sungai  (BBWS,BWS,BPSDA,PJT), Direktorat Jenderal SDA, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menggunakan alat/tool River Basin Organization (RBO) Performance Benchmarking yang dikeluarkan oleh Networks of Asian River Basin Organization (NARBO) yang telah dilaksanakan oleh anggota NARBO di 18 negara di Asia.

Khusus untuk RBO (BBWS,BWS,BPSDA, PJT) di Indonesia, indikator pengukuran kinerja RBO telah disesuaikan dengan kebutuhan dalam rangka mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya air.

Untuk itu diharapkan agar semua RBO (BBWS,BWS,BPSDA, PJT) dapat melaksanakan RBO Performance Benchmarking yang dilengkapi dengan rencana aksi  5 tahunan di unit kerja masing-masing yang dipakai sebagai acuan penyusunan anggaran kegiatan RBO (BBWS,BWS,BPSDA,PJT) serta melakukan evaluasi kinerja setiap tahunnya.





https://www.scribd.com/doc/286237480/PEDOMAN-Pengukuran-Kinerja-Organisasi-Pengelola-SDA-Wilayah-Sungai
Download : (PEDOMAN) Pengukuran Kinerja Organisasi Pengelola SDA Wilayah Sungai

Kamis, 26 Maret 2015

(ARTIKEL) Rekomendasi Untuk Meningkatkan Kualitas Dokumen Pola dan Rencana



Oleh:
Nico Darismanto,  Institutional Development Specialist, CDTA 7849-INO


Pola menjadi kerangka dasar di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan sumber daya air (PSDA) terpadu, yaitu untuk bidang kegiatan konservasi SDA, pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak air. Sedangkan Rencana merupakan hasil perencanaan menyeluruh dan terpadu di dalam penyelenggaraan pengelolaan SDA. Namun, berdasarkan temuan di lapangan, proses penyusunan dokumen Pola dan Rencana dalam PSDA ini masih banyak yang kurang memadai dengan kualitas hasil yang seringkali jauh dari maksimal.

Permasalahan yang sering ditemui antara lain sebagai berikut.



  1. Lemahnya identifikasi potensi dan permasalahan, pemahaman kondisi lapangan dan akurasi data. Identifikasi potensi, permasalahan serta kondisi lingkungan di wilayah sungai terkait dapat diperoleh dari instansi, pakar, lembaga perguruan tinggi, tokoh masyarakat, LSM, lembaga masyarakat adat dan instansi terkait dalam pengelolaan SDA. Selain itu juga melalui observasi langsung di lapangan. Kualitas identifikasi, pengumpulan data informasi akurat serta observasi ini akan membantu meningkatnya kualitas dokumen yang disusun.

    Namun, sebagian besar konsultan penyusun Pola/Rencana tidak berkantor/berada di lokasi daerah wilayah sungai terkait dan kurang memahami kondisi lapangan. Hal ini menyebabkan rendahnya kualitas dan akurasi data yang diperoleh serta rendahnya pemahaman akan realita dan permasalahan yang terjadi di lapangan, yang mengakibatkan rendahnya kualitas dokumen yang disusun.


  2. Menggunakan data sekunder dari sumber yang kurang kredibel. Seringkali, dalam melakukan inventarisasi data,  konsultan mendapatkan data dari sumber-sumber lainnya dan tidak memperoleh langsung dari sumber instansi terkait. Institusi terkait dalam penyusunan dokumen Pola/Rencana, misalnya seperti Bappeda, Bapedalda, Dinas pertanian, dinas kehutanan, dinas perkebunan, dinas perikanan dan dinas pertambangan serta dinas terkait lainnya yang membidangi SDA di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

  3. Belum maksimalnya keterlibatan para pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses penyusunan Pola sebagai alat (tool) strategis untuk mewujudkan Keterpaduan Pengelolaan Sumber Daya Air (IWRM).


  4. Keterbatasan biaya dan waktu untuk mengadakan pertemuan konsultasi dan pembahasan bersama para pemangku kepentingan, seringkali membuat pembahasan dokumen kurang fokus dan tajam, malah cenderung seadanya. Hal ini karena belum memaksimalkan keberadaan teknologi informasi penunjang seperti website untuk menampung hasil pembahasan (DRAFT) Pola/Rencana agar dapat dilihat publik untuk mendapatkan masukan berupa sanggahan atau revisi. Baik website dan mekanisme untuk menampung aspirasi melalui jalur daring (online) ini belum ada di tingkat Balai/Besar Wilayah Sungai atau Dinas SDA Provinsi.


  5. Formalitas dan “stigma tukang stempel”. Masih ada stigma yang beredar luas menganggap dokumen Pola/Rencana PSDA hanya merupakan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (B/BWS dan Dinas SDA) dan bukan seluruh pemangku kepentingan terkait. Sedangkan keberadaan TKPSDA masih dianggap sebagai “tukang stempel” dokumen melalui formalitas pembahasan. Hal ini membutuhkan strategi untuk meningkatkan keterlibatan dan rasa kepemilikan atas proses dan hasil penyusunan dokumen Pola/Rencana.
Saran dan Rekomendasi:
 

  1. BBWS/BWS/Dinas SDA sebagai pemberi tugas agar dapat mampu mengarahkan dan mengajak serta mendorong keterlibatan instansi pemerintah, swasta dan masyarakat. Upaya minimal di tingkat pemerintah, misalnya untuk memastikan keterlibatan adalah konsultan penyusun dapat menyediakan blanko Pola/Rencana dimana data dan analisisnya harus mendapatkan persetujuan (endorsement) dari masing-masing instansi pemerintah.


  2. BBWS/BWS/Dinas SDA, terutama pucuk pimpinan harus mampu melibatkan seluruh staf penanggungjawab terkait di institusi yang dipimpinnya untuk membantu mengarahkan dan mengawasi dengan ketat proses penyusunan serta kualitas dokumen yang dihasilkan.


  3. Pucuk pimpinan instansi terkait harus mulai mengkondisikan secara terus menerus agar rancangan Pola/Rencana jangka pendek (5 tahunan) masuk dalam rencana strategis (Renstra) SDA. Demikian pula untuk rencana pembangunan jangka menengah dan Jangka panjang.


  4. BBWS/BWS/Ditjen SDA sebagai pemberi tugas harus mampu memberikan arahan, menguasai isi Pola/Rencana PSDA serta mampu menjelaskan proses penyusunan pola terpadu kepada Tim Teknis sebelum ditetapkan oleh Menteri/Gubernur sesuai dengan kewenangannya.


  5. Idealnya, kegiatan Pertemuan Konsultasi Masyarakat (PKM) 1 dan 2 harus dilakukan secara berjenjang di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi sebagaimana proses dalam Musrenbang, dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD).

    Pemberi tugas (BBWS/Balai) harus melakukan pengawalan proses kegiatan ini atau meminta bukti pada konsultan untuk mampu menunjukkan proses PKM secara berjenjang. Realita yang terjadi adalah pihak konsultan tidak bersedia melakukan PKM secara berjenjang dengan alasan keterbatasan atau tidak ada di dalam kontrak kerja.


  6. BBWS/BWS/Dinas SDA dan konsultan dapat membantu meningkatkan pemahaman TKPSDA WS terhadap peraturan per-undang-undangan SDA, prinsip-prinsip perencanaan wilayah sungai, pola dan/atau rencana pengelolaan SDA WS. Sebelum TKPSDA melakukan pembahasan untuk rumusan Pola/Rencana, minimal melakukan tiga kali pertemuan sebagaimana konsep juklak pemmbahasan dan rumusan draft Pola/Rencana oleh TKPSDA yang telah disusun oleh Subdit Kelembagaan, Dit BPSDA.


  7. Sebaiknya pemberi tugas yang berwenang dapat mengumumkan secara terbuka draft Pola/Rencana melalui website atau media informasi lainnya, serta membuat mekanisme penampungan aspirasi secara sederhana (melalui surat, email, pertemuan) untuk mendapatkan umpan  balik dari publik dalam batas waktu tertentu.

  8. Dokumen Pola/Rencana yang sudah final sebaiknya diumumkan di publik secara terbuka melalui website dan disebarkan kepada instansi terkait atau pihak yang memerlukan.

Apabila proses penyusunan pola dan/atau rencana pengelolaan SDA dapat diperbaiki sesuai saran tersebut maka kualitas pola dan/atau rencana akan meningkat dan memberikan kontribusi terwujudnya pengelolaan sumber daya air terpadu (IWRM).

Senin, 16 Februari 2015

(ARTIKEL) Empat Tahun Pelaksanaan Kegiatan Dewan Sumber Daya Air Aceh


Keterangan foto: Krueng (Sungai) Aceh yang melintasi Kota Banda Aceh, termasuk ke dalam WS Aceh-Meureudu




Keterangan foto: Waduk Keuliling di Kab.Aceh Besar.

Banda Aceh-Tak terasa sudah empat tahun berlalu dari sejak pembentukan Dewan Sumber Daya Air (SDA) Aceh. Dewan SDA Aceh dibentuk pada tanggal 28 Desember 2009 berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh. Pembentukannya sesuai dengan amanat UU RI No 7 Tahun 2004 pasal 15 yang menyebutkan bahwa pemerintah provinsi memiliki wewenang dan bertanggungjawab untuk membentuk Dewan Sumber Daya Air.

“Dewan SDA Aceh beranggotakan 27 anggota dari 14 anggota unsur pemerintah dan 13 anggota non-pemerintah. Gubernur Aceh merupakan Ketua Dewan SDA Aceh merangkap anggota. Sedangkan Ketua Harian dijabat oleh Kepala Dinas Pengairan Aceh” kata Ir. Syamsurizal, Kepala Dinas Pengairan Aceh yang juga merupakan Ketua Harian Dewan SDA Aceh ketika ditemui di kantornya di Banda Aceh (19/1/15).

Ada empat komisi di dalam Dewan SDA Aceh yaitu Komisi Konservasi SDA, Komisi Pendayagunaan SDA, Komisi Pengendalian Daya Rusak Air dan Kualitas Air serta Komisi Kelembagaan, Hukum dan Informasi. Tugas Dewan SDA Aceh secara umum yaitu : (1) menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan SDA provinsi dengan memperhatikan kebijakan nasional dan kepentingan provinsi sekitarnya terkait SDA. (2) Menyusun program pengelolaan SDA provinsi. (3) Menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi (SIH3) dengan memperhatikan kebijakan SIH3 di tingkat nasional. (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta mengusulkan perubahan penetepan wilayah sungai dan cekungan air tanah.

“Dewan SDA ini bersidang tiga hingga empat kali dalam setahun untuk membahas berbagai agenda” kata  Ir. M.Hidayat, MM, Kepala Dinas UPTD Wilayah 1 Dinas Pengairan Aceh. Hidayat juga memegang jabatan fungsional sebagai Kepala Sekretariat Dewan SDA Aceh dan Kepala Sekretariat TKPSDA WS.Teunom-Lambesoi.

Fungsi Koordinasi Dewan SDA Aceh



Keterangan foto: Beberapa anggota Dewan SDA dan TKPSDA di Sekretariat Dewan SDA di Banda Aceh


Keterangan foto: dari kiri ke kanan Ir. H.M Supriatno, ST, MP, Ir. Syamsurizal, Ir. Bambang Riswardi, M.Eng dan Ir. M.Hidayat, MM

Dewan SDA Aceh memiliki fungsi koordinasi dengan tugas antara lain berkonsultasi dengan berbagai pihak terkait untuk keterpaduan kebijakan  antar sektor, wilayah dan pemilik kepentingan di dalam pengelolaan SDA di tingkat provinsi.
Keterangan foto: Beberapa anggota Dewan SDA dan TKPSDA di Sekretariat Dewan SDA di Banda Aceh

Hal ini termasuk untuk mengintegrasikan, menyelaraskan kepentingan para pemangku kepentingan dan memantau pengelolaan SDA di tingkat provinsi. Selain itu Dewan SDA juga berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait untuk keterpaduan, memantau dan mengevaluasi kebijakan sistem SIH3 di tingkat provinsi.

Untuk membantu tugas Dewan SDA Aceh, maka dibentuklah Sekretariat Dewan SDA Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Pembentukannya dilakukan setahun sekali melalui surat keputusan Kepala Dinas Pengairan selaku Ketua Harian Dewan SDA.

Kegiatan Dewan SDA Aceh

Sejak Tahun 2010 hingga 2014, Dewan SDA telah melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain melakukan pertemuan dan persidangan, kunjungan lapangan dan studi banding, melakukan monitoring dan evaluasi di tingkat kabupaten untuk mengetahui permasalahan di bidang pengelolaan SDA yang selanjutnya akan dibahas di sidang Dewan SDA untuk mencari solusinya.

“Selain itu Dewan SDA Aceh juga menyusun petunjuk teknis monitoring dan evaluasi serta menerbitkan buletin Dewan SDA Aceh tiga kali dalam setahun serta membuat website untuk mendukung penyebaran informasi mengenai kegiatan pengelolaan SDA di Aceh” kata Hidayat.
Sidang dan pertemuan adalah kegiatan rutin tahunan Dewan SDA. Sidang dan pertemuan Dewan SDA ini memiliki berbagai agenda, misalnya sosialisasi kegiatan Dewan SDA, membahas rencana kerja tahunan, sinkronisasi data pertanian dan irigasi, membahas kondisi kritis DAS dan penanggulangannya, finalisasi draft Rancangan Kebijakan Pengelolaan SDA Aceh,  revisi rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang kebijakan pengelolaan SDA Aceh dari hasil diskusi.

Selain pertemuan dan sidang, Dewan SDA juga melaksanakan kunjungan lapangan dan studi banding. Misalnya pada tahun 2010 melakukan studi banding ke Sekretariat Dewan SDA Provinsi Jawa Tengah dan tahun 2011 ke Dinas PU provinsi Jawa Timur dan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo.

Sedangkan pada tahun 2012, kunjungan lapangan Dewan SDA fokus pada pengumpulan data untuk penyusunan program dan kegiatan pengelolaan SDA Aceh di 9 kabupaten di Provinsi Aceh yaitu Kabupaten Pidie, Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.

Untuk tahun 2013, kunjungan lapangan Dewan SDA dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait pengelolaan SIH3 untuk menyusun Rancangan Pergub tentang SIH3. Pada tahun 2014, Dewan SDA melakukan studi banding ke Sekretariat Dewan SDA Provinsi Jawa Tengah dan bendungan Kedungombo di Jawa Tengah.

Sosialisasi dan penyebaran informasi Peraturan Gubernur Aceh No 54 Tahun 2013 tentang Kebijakan Pengelolaan SDA Aceh merupakan fokus utama agenda kunjungan lapangan Dewan SDA tahun 2014 lalu. Sosialisasi dilakukan kepada unsur pemerintah dan non-pemerintah di tingkat kabupaten/kota di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Selatan.

“Saya melihat pendekatan pro-aktif dan jemput bola ke dinas ini lebih efektif daripada hanya sekedar sidang lalu selesai. Di pertemuan door to door kita lebih mendapatkan banyak masukan dan gambaran tentang permasalahan dan prioritas” Ir. Anggria Zultina Rosa, MM, Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), yang juga merupakan anggota Dewan SDA Aceh (19/1/15).

Anggria bersama anggota Dewan SDA yang lain juga melakukan studi pilot di tingkat kabupaten/kota dengan tujuan untuk melihat sejauh apa dinas terkait pengelolaan SDA mengetahui tentang Dewan SDA dan TKPSDA.

“Ternyata kita harus lebih gencar lagi melakukan sosialisasi. Karena hasil studi tersebut menunjukkan tingkat pemahaman tentang peran dan tanggungajwab Dewan SDA dan TKPSDA masih terbatas. Umumnya hanya mereka yang pernah mengikuti pertemuan atau sidang Dewan SDA atau TKPSDA saja yang paham. Itupun kalau orangnya tetap sama, biasanya staf pemerintahan yang menghadiri pertemuan atau sidang seringkali berganti-ganti” kata Anggria. Ia berharap ke depan, Dewan SDA dapat menggandeng media massa untuk membantu penyebaran informasi terkait pengelolaan SDA serta kegiatan Dewan SDA dan TKPSDA kepada masyarakat umum.

Produk yang Dihasilkan




Keterangan foto: Sebagian produk yang dihasilkan oleh Dewan SDA Provinsi Aceh.

Dewan SDA Aceh telah menghasilkan beberapa produk antara lain: (1) Peraturan Gubernur No 69/2010 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Dewan SDA, (2) Peraturan Gubernur No 54/2013 tentang Kebijakan Pengelolaan SDA Aceh, (3) Peraturan Gubernur No 60/2014 tentang Kebijakan Pengelolaan Sistem Informasi SIH3 Aceh, (4) Rancangan Matrix Pengelolaan SDA Aceh, (5) Buletin Dewan SDA Aceh dan (6) Visi dan Misi Dewan SDA Aceh.

“Ini masih tahun-tahun awal, sehingga masih perlu proses, mencari bentuk dan membuktikan bahwa wadah koordinasi ini memiliki nilai tambah. Jika Dewan SDA dan TKPSDA sudah berjalan maksimal, kontribusinya untuk pembangunan SDA akan sangat tinggi, karena dari RPJM sudah bisa terpenuhi dan bisa dilaksanakan” kata Hidayat.

“Saat ini yang menjadi masalah adalah sinkronisasi program pembangunan di bidang SDA antara yang ada di Musrembang dan RPJM dengan Pola dan Rencana. Kita coba mengarahkan agar penanganan dilakukan sesuai dengan kewenangan wilayah sungai, agar lebih fokus dan tidak menemui masalah administrasi di kemudian hari yang berpotensi menjadi temuan kalau penanganan tidak sesuai dengan kewenangan” Syamsurizal.

Berdasarkan Keputusan Presiden No 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, berikut adalah Wilayah Sungai di Provinsi Aceh sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab:



Sumber: Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dewan Sumber Daya Air Tahun Anggaran 2010-2014, Dewan SDA Aceh 2014
Teks dan foto: Diella Dachlan



Kewenangan
Kode WS
Nama WS
DAS dan Wilayah Administratif
Status TKPSDA
Strategis Nasional
WS 01.01.A3
Aceh-Meureudu
30 DAS
6 Kabupaten/Kota (Kota Banda Aceh, Kab.Aceh Besar, Kab.Pidie, Kab. Pidie Jaya, Kab.Bireun dan Kota Sabang)
TKPSDA sudah dikukuhkan
dengan
36 orang anggota
(November 2014)
WS. 01.05.A3
Jambo Aye
13 DAS
4 Kabupaten (Kab.Aceh Utara, Kab.Bener Meriah, Kab.Aceh Timur dan Kab.Gayo Luwes)
Pola sudah ditetapkan pada Maret 2014.
TKPSDA beranggotakan 49 orang.
WS 01.04.A3
Woyla-Bateue
13 DAS
5 Kabupaten (Kab. Nagan Raya, Kab. Aceh Barat Daya, Kab.  Gayo Lues,Kab. Aceh Tengah, Kab. Pidie dan Kab. Bireun)
TKPSDA sudah dikukuhkan
dengan
40 orang anggota (Agustus 2013)
Lintas Provinsi
WS 01.09.A2
Alas-Singkil
8 DAS
11 Kabupaten/Kota.
5 Kabupaten dan 1 kota di Provinsi Aceh
(Kab. Aceh Selatan, Kab. Aceh Singkil, Kab. Aceh Tenggara, Kab. Gayo Lues dan Kota Subusulussalam))

6 Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara
(Kab. Dairi, Kab. Humbang Hasundutan, Kab. Karo, Kab. Pakpak Bharat, Kab.Samosir, Kab. Tapanuli Tengah)
Pola sudah ditetapkan pada Juli 2014.

(akan dibentuk tahun 2015)
Lintas Kabupaten/Kota
WS 01.03.B
Pase-Peusangan
10 DAS
4 Kabupaten (Kab.Bireun, Kab.Aceh Utara, Kab.Bener Meriah dan Kab.Aceh Tengah)
TKPSDA sudah dikukuhkan
dengan
32 orang anggota
(Oktober 2014)
WS 01.06.B
Tamiang-Langsa
17 DAS
4 Kabupaten (Kab. Aceh Timur, Kota Langsa, Kab.Aceh Tamiang dan Gayo Lues
TKPSDA sudah dikukuhkan dengan
32 orang anggota
(Oktober 2014)
WS 01.02.B
Teunom-Lambesoi
6 DAS
4 Kabupaten (Kab.Aceh Besar, Kab.Aceh Jaya, Kab.Pidie dan Kab.Pidie Jaya)
TKPSDA sudah dikukuhkan dengan jumlah anggota 26 orang
(Juni 2013)
WS 01.07.B
Baru-Kluet
21 DAS
4 Kabupaten (Kab. Aceh Barat Daya, Kab.Aceh Tenggara, Kab.Aceh Selatan dan Kab.Gayo Lues)
TKPSDA sudah dikukuhkan dengan
34 orang anggota
(Oktober 2014)
Dalam Kabupaten/Kota
WS 01.08.C
Pulau Simeulue
-
Belum dibentuk
(akan dibentuk tahun 2015)